SABAN bulan Juni, sebagai anak Betawi asli, jantung kami berdebar lebih keras dibanding bulan-bulan lain. Sebab pada Juni, warna Betawi sengaja dihidupkan kembali untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kota Jakarta. Tahun ini katnya Kota Jakarta berumur 484 tahun. Maka grup ondel-ondel kualahan menerima pesanan order main dipajang di berbagai mal, hotel, dan pusat keramaian lainnya. Begitu pula grup tanjidor, gambang kromong, tari, dan lain-lain.
Bagi seniman Betawi, bulan Juni boleh dibilang bulan panen. Hanya bulan inilah mereka merasakan kembali manisnya honor yang diterima sebagai seniman kesenian tradisional. Sementara pada 11 bulan lainnya, mereka kembali berprofesi apa saja asal dapat makan, berobat, dan membayar SPP anaknya.
Sejujurnya memang ada kesalahan dalam pembinaan kesenian Betawi yang dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Pembinaan yang kami maksud adalah pemberdayaan kesenian. Masyarakat umum melihat ada peluang yang sangat besar membisniskan kesenian Betawi. Lihat misalnya produser sinetron yang dengan sadar dan sengaja memproduksi sinetron berlatar budaya Betawi. Meski sinetron ini hampir saban malem jadi santapan pemirsa televisi, pelan dan pasti warna Betawi pudar dari Jakarta, untuk menghindarai kata punah, yang tersisa adalah streotipe berlabel kampungan dan norak.
Sementara itu upaya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sama sekali belum maksimal. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sebagai institusi resmi Pemprov. DKI Jakarta memegang peran penting bagi pembinaan, pelestarian, dan pengembangan budaya Betawi. Tapi dinas ini hanya tertarik membina sektor tertentu sementara ebagian sektor lain belum disentuh sama sekali. Bahkan banyak proyek atau program pembinaan yang sifatnya tidak jelas dan tidak ada hubungannya dengan kesenian Betawi. Jika memang instansi ini serius dan memiliki idiealisme, maka kondisinya tak seperti sekarang. Instansi ini hanya berusaha menyelesaikan tugas yang dituangkan dalam program tahunan seraya mencitrakan diri paling peduli. Bahkan lebih gila lagi, oknum di dinas ini sudah memfungsikan diri seperti sanggar seni budaya yang siap mengisi acara jika ditanggap. Dengan peran seperti itu, tentu saja sanggar-sanggar seni Betawi makin jarang ditanggap lantaran posisinya dilibas oleh dinas yang memiliki jaringan ke berbagai arah.
Sebetulnya mudah jika ingin membuat kesenian dan seniman Betawi tetap hidup. Berilah kesempatan berpentas sebesar-besarnya kepada mereka di segala tempat dan kesempatan, maka mereka dengan sendirinya akan berkembang dan beregenerasi sendiri.
Sejak awal 1980-an kami sudah merasakan pudarnya warna Betawi dari Jakarta. Ketika itu sebagian besar kampung Betawi sudah jatuh ke tangan konglomerat yang akan membangun real estate. Masih segar dalam ingatan kami, orang Betawi begitu gembira setelah gusuran. Mereka menjadi OKB – orang kaya baru – dengan sedan mengkilap dan deru motor keras memecah suasana kampung yang lengang. Namun kegembiraan itu tak sampai setahun. Bulan kedelapan mereka kembali menjadi orang miskin yang hakiki karena tanah tak punya, uang pun ludes. Komunitas kampung Betawi pun amburadul dan penghuninya terpencar entah kemana. Nama-nama kampung pun hilang sebelum sempat kami mendokumentasikannya.
Bagi kami dampak gurusan itulah yang paling menghunjam ulu hati. Sebab berbarengan dengan gusuran maka adat istiadat, pranata, instutisi, dan seluruh aspek budaya Betawi pun tergusur.
Dulu di kampung Betawi, kami sangat leluasa bermain wak-wak gung, dampu, tok kadal, uler naga, benteng, tembak nama, anggar, pletokan, gantrong, dan lain-lain karena lahan masih luas. Bahkan ketika malam bulan purnama kami pun menikmatinya sambil bermain sampai larut. Kami pun dipercaya oleh babe memelihara kambing. Kami masih sempat ngarit dan ngangon kambing dan sebelum pulang terlebih dahulu mandi di kali jernih. Atau membantu babe menyiram kacang panjang, oyong, bayam, kangung yang ditanam di sawah. Kata orang babe termasuk orang yang tangannya dingin. Maksudnya babe menanam jenis sayuran atau pohon apapun hasilnya akan bagus. Babe pun mengajari membuat tali dari pelepah batang pisang batu. Menjelang bulan puasa kami pasti membantu babe menanam timun suri. Kalau musim nyawah dan padinya mulai menguning, kami diperintah babe jaga burung. Kami duduk di gubuk sambil menarik-narik tali-temali yang dihubungkan ke orang-orangan sawah yang berada di tengah tiap petakan. Ketika musim buah-buahan, kami ikut sibuk membantu ngalap, entah rambutan, duren, pepaya, dan lain-lain. Babe akan menjualnya ke pasar atau ada pembeli yang datang. Sehabis magrib menjadi keasyikan tersendiri mebaca shalawat dan mengaji di langgar. Setelah isya abang-abang dan teman sebaya belajar maen pukulan di halaman rumah guru maen pukulan. Itulah kegiatan dan kegembiraan kami dan kawan-kawan.
Bagi seniman Betawi, bulan Juni boleh dibilang bulan panen. Hanya bulan inilah mereka merasakan kembali manisnya honor yang diterima sebagai seniman kesenian tradisional. Sementara pada 11 bulan lainnya, mereka kembali berprofesi apa saja asal dapat makan, berobat, dan membayar SPP anaknya.
Sejujurnya memang ada kesalahan dalam pembinaan kesenian Betawi yang dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Pembinaan yang kami maksud adalah pemberdayaan kesenian. Masyarakat umum melihat ada peluang yang sangat besar membisniskan kesenian Betawi. Lihat misalnya produser sinetron yang dengan sadar dan sengaja memproduksi sinetron berlatar budaya Betawi. Meski sinetron ini hampir saban malem jadi santapan pemirsa televisi, pelan dan pasti warna Betawi pudar dari Jakarta, untuk menghindarai kata punah, yang tersisa adalah streotipe berlabel kampungan dan norak.
Sementara itu upaya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sama sekali belum maksimal. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sebagai institusi resmi Pemprov. DKI Jakarta memegang peran penting bagi pembinaan, pelestarian, dan pengembangan budaya Betawi. Tapi dinas ini hanya tertarik membina sektor tertentu sementara ebagian sektor lain belum disentuh sama sekali. Bahkan banyak proyek atau program pembinaan yang sifatnya tidak jelas dan tidak ada hubungannya dengan kesenian Betawi. Jika memang instansi ini serius dan memiliki idiealisme, maka kondisinya tak seperti sekarang. Instansi ini hanya berusaha menyelesaikan tugas yang dituangkan dalam program tahunan seraya mencitrakan diri paling peduli. Bahkan lebih gila lagi, oknum di dinas ini sudah memfungsikan diri seperti sanggar seni budaya yang siap mengisi acara jika ditanggap. Dengan peran seperti itu, tentu saja sanggar-sanggar seni Betawi makin jarang ditanggap lantaran posisinya dilibas oleh dinas yang memiliki jaringan ke berbagai arah.
Sebetulnya mudah jika ingin membuat kesenian dan seniman Betawi tetap hidup. Berilah kesempatan berpentas sebesar-besarnya kepada mereka di segala tempat dan kesempatan, maka mereka dengan sendirinya akan berkembang dan beregenerasi sendiri.
Sejak awal 1980-an kami sudah merasakan pudarnya warna Betawi dari Jakarta. Ketika itu sebagian besar kampung Betawi sudah jatuh ke tangan konglomerat yang akan membangun real estate. Masih segar dalam ingatan kami, orang Betawi begitu gembira setelah gusuran. Mereka menjadi OKB – orang kaya baru – dengan sedan mengkilap dan deru motor keras memecah suasana kampung yang lengang. Namun kegembiraan itu tak sampai setahun. Bulan kedelapan mereka kembali menjadi orang miskin yang hakiki karena tanah tak punya, uang pun ludes. Komunitas kampung Betawi pun amburadul dan penghuninya terpencar entah kemana. Nama-nama kampung pun hilang sebelum sempat kami mendokumentasikannya.
Bagi kami dampak gurusan itulah yang paling menghunjam ulu hati. Sebab berbarengan dengan gusuran maka adat istiadat, pranata, instutisi, dan seluruh aspek budaya Betawi pun tergusur.
Dulu di kampung Betawi, kami sangat leluasa bermain wak-wak gung, dampu, tok kadal, uler naga, benteng, tembak nama, anggar, pletokan, gantrong, dan lain-lain karena lahan masih luas. Bahkan ketika malam bulan purnama kami pun menikmatinya sambil bermain sampai larut. Kami pun dipercaya oleh babe memelihara kambing. Kami masih sempat ngarit dan ngangon kambing dan sebelum pulang terlebih dahulu mandi di kali jernih. Atau membantu babe menyiram kacang panjang, oyong, bayam, kangung yang ditanam di sawah. Kata orang babe termasuk orang yang tangannya dingin. Maksudnya babe menanam jenis sayuran atau pohon apapun hasilnya akan bagus. Babe pun mengajari membuat tali dari pelepah batang pisang batu. Menjelang bulan puasa kami pasti membantu babe menanam timun suri. Kalau musim nyawah dan padinya mulai menguning, kami diperintah babe jaga burung. Kami duduk di gubuk sambil menarik-narik tali-temali yang dihubungkan ke orang-orangan sawah yang berada di tengah tiap petakan. Ketika musim buah-buahan, kami ikut sibuk membantu ngalap, entah rambutan, duren, pepaya, dan lain-lain. Babe akan menjualnya ke pasar atau ada pembeli yang datang. Sehabis magrib menjadi keasyikan tersendiri mebaca shalawat dan mengaji di langgar. Setelah isya abang-abang dan teman sebaya belajar maen pukulan di halaman rumah guru maen pukulan. Itulah kegiatan dan kegembiraan kami dan kawan-kawan.
Kami ingat ketika sunat. Kami menjadi penganten sunat. Meski dokter sunat sudah banyak, kami disunat oleh bengkong. Kebetulan yang jadi bengkong adalah babe kami sendiri. Pagi buta (pukul 05.00) kami diharuskan mandi dan berendam di kolam selama satu jama. Maksudnya agar penis menjadi kebal dan ketika disunat tidak terlalu sakit. Memang tidak sakit karena sudah kebal dan lebih dari itu babe pandai merayu serta jampe-jampe yang dirapalnya cukup cespleng. Berbarengan dengan pelaksanaan sunat, abang memasang petasan dan encang memotong ayam jago. Ini maksudnya agar teman-teman yang melihat sunatan tidak takut dan sunat dianggap sesuatu yang menggembirakan. Selesai sunat kami mendapat hadiah sepeda dan seekor kambing kebirian. Tamu lain memberi angpao. Lalu disuguhi nasi kuning dan bekakak ayam yang kami makan bersama teman-teman.
Babe kami termasuk peduli dengan kebiasaan Betawi. Ketika kami tamat mengaji, diadakan upacara tamatan Qur’an. Di sini kami kembali menjadi penganten, yaitu penganten tamat Qur’an. Kami juga ingat ketika empok mengadakan upacara nujubulan untuk anak yang pertama. Kami lihat enyak membuat rujak nujubulan dan menyiapkan aer kembang rampe untuk mandi dan ngirag. Waktu itu kesenian lenong, topeng, dan wayang kulit Betawi sangat digemari. Babe pernah nanggap lenong Bang Kidan saat melaksanakan resepsi perkawinan abang. Penonton dari berbagai kampung tumplek.
Babe memang mempunyai keahlian kumplit. Selain petani yang bertangan adem, ia pun seniman rebana ketimpring. Ia dan teman-temannya sering diminta ngarak penganten. Kami pernah menyaksikan babe ngarak Bang Mahrup ketika berangkat ngerudat menuju rumah empok Rohaya. Pukulannya bagus dan suaranya merdu.
Itu semua kenangan yang amat manis dalam hidup kami sebagai anak Betawi. Warna Betawi kini pudar dari Jakarta. Kami rasakan orang Betawi belum siap mengikuti lesatan perobahan jaman. Mereka belum menyadari makna peribahasa ”bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pengetahuan dan profesionalitas belum mereka miliki untuk berpadu langkah dengan dinamikan kehidupan global. Maka pada saatnya mereka menjadi terperangah berhadapan dengan nilai-nilai baru. Jelasnya, pranata dan institusi yang mereka miliki tak semuanya dapat memenuhi kebutuhan. Ini membuat mereka teralienasi dari kenyataan.
Di era reformasi ini, tumbuh hampir 100-an organisasi masyarakat Betawi. Separohnya orgasnisasi arisan dan paguyuban. Separoh lagi organisasi ojek payung. Belum ada organisasi profesional yang memiliki visi-misi untuk kemajuan masyarakat. Itu sebabnya kenapa masyarakat Betawi mudah sekali kalah di berbagai medan.
Kini Jakarta berusia 484. Usia yang cukup matang. Dia akan terus berjalan tanpa peduli pada apa dan siapa pun. Kita akan terus tertinggal jika tak punya program aksi yang nyata dan didukung semua elemen. Belum terlambat untuk memulai. Dirgahayu Jakarta!! (Sumber)
Babe kami termasuk peduli dengan kebiasaan Betawi. Ketika kami tamat mengaji, diadakan upacara tamatan Qur’an. Di sini kami kembali menjadi penganten, yaitu penganten tamat Qur’an. Kami juga ingat ketika empok mengadakan upacara nujubulan untuk anak yang pertama. Kami lihat enyak membuat rujak nujubulan dan menyiapkan aer kembang rampe untuk mandi dan ngirag. Waktu itu kesenian lenong, topeng, dan wayang kulit Betawi sangat digemari. Babe pernah nanggap lenong Bang Kidan saat melaksanakan resepsi perkawinan abang. Penonton dari berbagai kampung tumplek.
Babe memang mempunyai keahlian kumplit. Selain petani yang bertangan adem, ia pun seniman rebana ketimpring. Ia dan teman-temannya sering diminta ngarak penganten. Kami pernah menyaksikan babe ngarak Bang Mahrup ketika berangkat ngerudat menuju rumah empok Rohaya. Pukulannya bagus dan suaranya merdu.
Itu semua kenangan yang amat manis dalam hidup kami sebagai anak Betawi. Warna Betawi kini pudar dari Jakarta. Kami rasakan orang Betawi belum siap mengikuti lesatan perobahan jaman. Mereka belum menyadari makna peribahasa ”bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pengetahuan dan profesionalitas belum mereka miliki untuk berpadu langkah dengan dinamikan kehidupan global. Maka pada saatnya mereka menjadi terperangah berhadapan dengan nilai-nilai baru. Jelasnya, pranata dan institusi yang mereka miliki tak semuanya dapat memenuhi kebutuhan. Ini membuat mereka teralienasi dari kenyataan.
Di era reformasi ini, tumbuh hampir 100-an organisasi masyarakat Betawi. Separohnya orgasnisasi arisan dan paguyuban. Separoh lagi organisasi ojek payung. Belum ada organisasi profesional yang memiliki visi-misi untuk kemajuan masyarakat. Itu sebabnya kenapa masyarakat Betawi mudah sekali kalah di berbagai medan.
Kini Jakarta berusia 484. Usia yang cukup matang. Dia akan terus berjalan tanpa peduli pada apa dan siapa pun. Kita akan terus tertinggal jika tak punya program aksi yang nyata dan didukung semua elemen. Belum terlambat untuk memulai. Dirgahayu Jakarta!! (Sumber)
0 Response to "Benerkah "Juni" bulannya orang Betawi?"
Posting Komentar