Sebagai sebuah etnis yang terbentuk oleh pencampuran banyak etnis, suku dan bangsa, maka wujud kebudayaan Betawi sangatlah kaya dengan pencampuran tersebut yang meliputi antara lain: pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, dan seni. Wujud nyata pencampuran tersebut sangat terlihat misalnya dari bahasa. Walau Bahasa Betawi bersumber dari bahasa Melayu, namun telah banyak tercampur dengan bahasa lain, seperti bahasa Sunda, Arab, Cina, Belanda, Portugis, dan lain-lain. Begitu banyaknya pencampuran dari bahasa Betawi ini, sampai-sampai orang Melayu tulen pun tidak memahami bahasa Betawi.
Pencampuran tersebut juga terdapat di bidang seni, misalnya Orkes Gambang Kromong yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Cina, Orkes Samrah atau Sambrah yang berasal dari Melayu, Orkes Gambus yang berasal dari Timur Tengah, Keroncong Tugu yang berasal dari Portugis dan lain-lain. Namun, pencampuran ini tidak terjadi pada religi, pola-pola perilaku, dan organisasi sosial etnis Betawi. Dalam ketiga hal ini ajaran Islamlah yang memonopolinya.
Untuk persoalan religi, tidak ada orang Betawi yang bukan beragama Islam. Jika ada, maka orang tersebut bukan lagi orang Betawi. Begitu kuatnya ajaran Islam tertanam pada diri orang Betawi sehingga mengimbas kepada perilaku orang Betawi itu sendiri. Pengakuan akan hal ini datang dari seorang Snouck C Hurgronje, mengutip dari pendapat Ridwan Saidi.
Snouck menyatakan bahwa tidak ada di Nusantara ini yang lebih relijius daripada orang Betawi. Begitu kuatnya orang Betawi memegang keislamannya, Snouck C Hurgronje sendiri tidak dapat menanamkan pengaruhnya ke tanah Betawi. Begitu pula dengan organisasi sosialnya, baik yang berbadan hukum ataupun tidak, ajaran Islam menjadi ruh bagi seluruh aktivitas organisasi-organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Betawi. Dari ke-Islaman orang Betawi ini lahirlah kebudayaan Islam Betawi yang mewarnai siklus hidup orang Betawi, sejak dalam kandungan sampai kematian. Pada seni, muncul musik kasidahan.
Namun sekarang ini, kebudayaan Betawi secara umum menghadapi tantangan zaman yang tidak bisa dianggap remeh akibat pengaruh budaya pop yang sangat kuat. Kebudayaan Betawi, terutama seni, yang tidak dapat dijual untuk kepentingan industri filim, televisi dan penerbitan tidak akan dimunculkan. Masyarakat akhirnya hanya mengenal lenong dengan segala variannya sebagai budaya Betawi yang masih ada karena masih layak untuk ditampilkan di televisi. Musik gambang Kromong dan tarian-tarian yang mengiringinya serta musik-musik lainya hanya tampil pada even-even tertentu yang sepi publikasi. Apalagi musik qasidahan yang hanya tampil misalnya pada acara perkawinan dan itupun harus rela berbagi dengan musik dangdut.
Budaya pop yang menjanjikan ketenaran dan materi telah mempengaruhi tujuan sebagian orang Betawi di dalam mempertahankan kebudayaannya, sesuatu yang tampak lumrah karena tuntutan kebutuhan ekonomi. Bahkan dahsyatnya budaya pop telah membuat nyaris sepi mushala dan masjid-masjid yang biasa ramai dihadiri orang Betawi untuk mengaji. Yang sekarang masih bertahan adalah majelis taklim-majelis taklim ibu-ibu.
Jika tidak ada upaya untuk membuat strategi dari segenap tokoh, ulama Betawi dan pihak-pihak terkait yang konsen dalam persoalan akan nasib kebudayaan Betawi, tertuama kebudayaan Islam Betawi, kedepan maka tidak akan terbayangkan apa yang akan terjadi terhadap nasib kebudayaan Islam Betawi. Inilah yang menjadi persoalan bagi Jakarta Islamic Centre (JIC) untuk menggelar Semiloka tentang Kebudayaan Islam Betawi: Dulu, Kini, dan Esok pada pertengahan bulan Maret 2008. Diharapkan semiloka ini menghasilkan sebuah format pengembangan kebudayaan Islam Betawi yang ideal dan relevan terhadap tuntutan zaman.
Pencampuran tersebut juga terdapat di bidang seni, misalnya Orkes Gambang Kromong yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Cina, Orkes Samrah atau Sambrah yang berasal dari Melayu, Orkes Gambus yang berasal dari Timur Tengah, Keroncong Tugu yang berasal dari Portugis dan lain-lain. Namun, pencampuran ini tidak terjadi pada religi, pola-pola perilaku, dan organisasi sosial etnis Betawi. Dalam ketiga hal ini ajaran Islamlah yang memonopolinya.
Untuk persoalan religi, tidak ada orang Betawi yang bukan beragama Islam. Jika ada, maka orang tersebut bukan lagi orang Betawi. Begitu kuatnya ajaran Islam tertanam pada diri orang Betawi sehingga mengimbas kepada perilaku orang Betawi itu sendiri. Pengakuan akan hal ini datang dari seorang Snouck C Hurgronje, mengutip dari pendapat Ridwan Saidi.
Snouck menyatakan bahwa tidak ada di Nusantara ini yang lebih relijius daripada orang Betawi. Begitu kuatnya orang Betawi memegang keislamannya, Snouck C Hurgronje sendiri tidak dapat menanamkan pengaruhnya ke tanah Betawi. Begitu pula dengan organisasi sosialnya, baik yang berbadan hukum ataupun tidak, ajaran Islam menjadi ruh bagi seluruh aktivitas organisasi-organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Betawi. Dari ke-Islaman orang Betawi ini lahirlah kebudayaan Islam Betawi yang mewarnai siklus hidup orang Betawi, sejak dalam kandungan sampai kematian. Pada seni, muncul musik kasidahan.
Namun sekarang ini, kebudayaan Betawi secara umum menghadapi tantangan zaman yang tidak bisa dianggap remeh akibat pengaruh budaya pop yang sangat kuat. Kebudayaan Betawi, terutama seni, yang tidak dapat dijual untuk kepentingan industri filim, televisi dan penerbitan tidak akan dimunculkan. Masyarakat akhirnya hanya mengenal lenong dengan segala variannya sebagai budaya Betawi yang masih ada karena masih layak untuk ditampilkan di televisi. Musik gambang Kromong dan tarian-tarian yang mengiringinya serta musik-musik lainya hanya tampil pada even-even tertentu yang sepi publikasi. Apalagi musik qasidahan yang hanya tampil misalnya pada acara perkawinan dan itupun harus rela berbagi dengan musik dangdut.
Budaya pop yang menjanjikan ketenaran dan materi telah mempengaruhi tujuan sebagian orang Betawi di dalam mempertahankan kebudayaannya, sesuatu yang tampak lumrah karena tuntutan kebutuhan ekonomi. Bahkan dahsyatnya budaya pop telah membuat nyaris sepi mushala dan masjid-masjid yang biasa ramai dihadiri orang Betawi untuk mengaji. Yang sekarang masih bertahan adalah majelis taklim-majelis taklim ibu-ibu.
Jika tidak ada upaya untuk membuat strategi dari segenap tokoh, ulama Betawi dan pihak-pihak terkait yang konsen dalam persoalan akan nasib kebudayaan Betawi, tertuama kebudayaan Islam Betawi, kedepan maka tidak akan terbayangkan apa yang akan terjadi terhadap nasib kebudayaan Islam Betawi. Inilah yang menjadi persoalan bagi Jakarta Islamic Centre (JIC) untuk menggelar Semiloka tentang Kebudayaan Islam Betawi: Dulu, Kini, dan Esok pada pertengahan bulan Maret 2008. Diharapkan semiloka ini menghasilkan sebuah format pengembangan kebudayaan Islam Betawi yang ideal dan relevan terhadap tuntutan zaman.
Penulis : Rakhmad Zailani Kiki, Staf Seksi Pengkajian CC-JIC
0 Response to "Kebudayaan Islam Betawi ,Dulu, Kini dan Esok | Oleh Rakhmad Zailani Kiki"
Posting Komentar