Kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merupakan salah satu surga kuliner di Jakarta. Tak hanya punya nasi uduk, kawasan ini juga menyimpan menu khas Betawi lain, yaitu sate lembut.
Salah satu warung sate lembut yang hingga kini masih bertahan adalah Sate Lembut Hj Romlah. Sate lembut dari Hj Romlah ini termasyhur sejak era 1950-an. Letak warungnya dulu ada di bilangan KH Mas Mansyur. Kini warisan kuliner Betawi itu dipegang keturunan Hj Romlah di kawasan Kebon Kacang V Nomor 44.
Sate ini sebenarnya sate khas Betawi yang mirip dengan sate lilit di Bali. Hanya, bila sate lilit menggunakan daging ayam, sate lembut milik Hj Romlah menggunakan daging sapi. Penyajiannya sama dengan sate pada umumnya, yaitu dengan nasi atau lontong dan bumbu yang boleh dipilih. “Bisa bumbu kecap atau bumbu kacang, terserah saja,” kata Lukmanul Hakim, 62 tahun, menantu Hj Romlah yang meneruskan usaha penjualan sate lembut ini di rumahnya, Jalan Kebon Kacang V Nomor 44, Jakarta Pusat.
Setelah Hj Romlah meninggal, usaha warung sate Betawi ini beralih kepada anaknya, yaitu Hj Atikah. Anak Hj Romlah ini merupakan istri Maman, panggilan Lukmanul Hakim. Warung sate ini bertahan cukup lama, sampai akhirnya, pada 2007, Hj Atikah meninggal. Ritme penjualan sate khas Betawi ini pun mulai menurun. Pasalnya, tidak semua anak Hj Atikah mau meneruskan usaha ini. Hanya satu anak Atikah yang menuruni bakatnya membuat sate lembut, yaitu Dina, 29 tahun. Dina bertugas membuat campuran bumbu dengan resep turun-temurun yang diajarkan ibunya, sedangkan yang mengolah daging adalah Maman dan seorang anak lelakinya.
Awalnya Dina bekerja di sebuah bank swasta. Sampai suatu ketika, sebelum meninggal, Hj Atikah meminta Dina berhenti dari pekerjaannya guna meneruskan usaha keluarga. “Ibunya bilang, biar kata dia kerja dengan gaji Rp 5-6 juta, dan dagang cuma dapet Rp 500 ribu, lo tetep jadi bosnya, gak diperintah orang,” ujar Maman mengutip ucapan istrinya. Beruntung, Hj Atikah akhirnya sempat menurunkan kemampuannya mengolah bumbu keluarga ini kepada Dina. Tapi Maman tetap menaruh rasa khawatir terhadap penjualan sate lembut saat ini. Sebab, sudah tidak ada lagi penjual sate lembut selain dia.
Maman tidak membuka cabang sate lembut dimana pun, dan banyak orang baik Betawi maupun bukan Betawi yang sudah ogah membuat sate lembut. Alasannya, pengolahan sate lembut yang cukup sulit. Daging sapi cincang yang datang dari pasar harus dicincang ulang, kemudian ditumbuk lagi kurang-lebih setengah jam. Proses ini dilakukan demi memperoleh daging yang lembut. Belum lagi proses menggoreng kelapa tanpa minyak (sangrai) untuk campuran dagingnya yang dilakukan cukup lama, agar minyak yang keluar tidak terlalu banyak. “Ini tangan saya sampai luka-luka begini karena harus menumbuk daging,” kata Maman.
Menurut Maman, daging harus dicincang agar urat daging yang masih merekat antarbagian bisa putus. Jika urat-urat ini tidak putus, daging sapi akan sulit dililitkan pada tusuk sate. Setelah daging dicincang dan ditumbuk, kelapa sangrai dicampurkan ke dalam daging. Adonan ini kemudian dicampur dengan bumbu khas keluarga, dan ditumbuk bersamaan kurang-lebih setengah jam. Setelah kalis, adonan ini dililitkan ke tusuk sate dan dibakar setengah matang. “Ini agar daging tidak kembali menjadi satu dan pecah ketika akan dibakar kembali pas dipesan,” kata Maman.
Selain mencegah adonan pecah, pemanggangan sate dilakukan agar sate tidak cepat basi. Pemanggangan sementara ini dapat menjaga sate tetap awet hingga dua hari. Pasalnya, banyak pelanggan sate lembut dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak jarang pelanggannnya datang dari sejumlah negara. Pelanggan dari berbagai daerah di luar Jakarta kebanyakan adalah warga yang sedang berbelanja di Pasar Tanah Abang. Maklum, lokasi rumah Maman berada di dekat Pasar Tanah Abang dan banyak rumah di kiri-kanannya yang menyediakan jasa konveksi pakaian dalam partai besar.
CHETA NILAWATY
Salah satu warung sate lembut yang hingga kini masih bertahan adalah Sate Lembut Hj Romlah. Sate lembut dari Hj Romlah ini termasyhur sejak era 1950-an. Letak warungnya dulu ada di bilangan KH Mas Mansyur. Kini warisan kuliner Betawi itu dipegang keturunan Hj Romlah di kawasan Kebon Kacang V Nomor 44.
Sate ini sebenarnya sate khas Betawi yang mirip dengan sate lilit di Bali. Hanya, bila sate lilit menggunakan daging ayam, sate lembut milik Hj Romlah menggunakan daging sapi. Penyajiannya sama dengan sate pada umumnya, yaitu dengan nasi atau lontong dan bumbu yang boleh dipilih. “Bisa bumbu kecap atau bumbu kacang, terserah saja,” kata Lukmanul Hakim, 62 tahun, menantu Hj Romlah yang meneruskan usaha penjualan sate lembut ini di rumahnya, Jalan Kebon Kacang V Nomor 44, Jakarta Pusat.
Setelah Hj Romlah meninggal, usaha warung sate Betawi ini beralih kepada anaknya, yaitu Hj Atikah. Anak Hj Romlah ini merupakan istri Maman, panggilan Lukmanul Hakim. Warung sate ini bertahan cukup lama, sampai akhirnya, pada 2007, Hj Atikah meninggal. Ritme penjualan sate khas Betawi ini pun mulai menurun. Pasalnya, tidak semua anak Hj Atikah mau meneruskan usaha ini. Hanya satu anak Atikah yang menuruni bakatnya membuat sate lembut, yaitu Dina, 29 tahun. Dina bertugas membuat campuran bumbu dengan resep turun-temurun yang diajarkan ibunya, sedangkan yang mengolah daging adalah Maman dan seorang anak lelakinya.
Awalnya Dina bekerja di sebuah bank swasta. Sampai suatu ketika, sebelum meninggal, Hj Atikah meminta Dina berhenti dari pekerjaannya guna meneruskan usaha keluarga. “Ibunya bilang, biar kata dia kerja dengan gaji Rp 5-6 juta, dan dagang cuma dapet Rp 500 ribu, lo tetep jadi bosnya, gak diperintah orang,” ujar Maman mengutip ucapan istrinya. Beruntung, Hj Atikah akhirnya sempat menurunkan kemampuannya mengolah bumbu keluarga ini kepada Dina. Tapi Maman tetap menaruh rasa khawatir terhadap penjualan sate lembut saat ini. Sebab, sudah tidak ada lagi penjual sate lembut selain dia.
Maman tidak membuka cabang sate lembut dimana pun, dan banyak orang baik Betawi maupun bukan Betawi yang sudah ogah membuat sate lembut. Alasannya, pengolahan sate lembut yang cukup sulit. Daging sapi cincang yang datang dari pasar harus dicincang ulang, kemudian ditumbuk lagi kurang-lebih setengah jam. Proses ini dilakukan demi memperoleh daging yang lembut. Belum lagi proses menggoreng kelapa tanpa minyak (sangrai) untuk campuran dagingnya yang dilakukan cukup lama, agar minyak yang keluar tidak terlalu banyak. “Ini tangan saya sampai luka-luka begini karena harus menumbuk daging,” kata Maman.
Menurut Maman, daging harus dicincang agar urat daging yang masih merekat antarbagian bisa putus. Jika urat-urat ini tidak putus, daging sapi akan sulit dililitkan pada tusuk sate. Setelah daging dicincang dan ditumbuk, kelapa sangrai dicampurkan ke dalam daging. Adonan ini kemudian dicampur dengan bumbu khas keluarga, dan ditumbuk bersamaan kurang-lebih setengah jam. Setelah kalis, adonan ini dililitkan ke tusuk sate dan dibakar setengah matang. “Ini agar daging tidak kembali menjadi satu dan pecah ketika akan dibakar kembali pas dipesan,” kata Maman.
Selain mencegah adonan pecah, pemanggangan sate dilakukan agar sate tidak cepat basi. Pemanggangan sementara ini dapat menjaga sate tetap awet hingga dua hari. Pasalnya, banyak pelanggan sate lembut dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak jarang pelanggannnya datang dari sejumlah negara. Pelanggan dari berbagai daerah di luar Jakarta kebanyakan adalah warga yang sedang berbelanja di Pasar Tanah Abang. Maklum, lokasi rumah Maman berada di dekat Pasar Tanah Abang dan banyak rumah di kiri-kanannya yang menyediakan jasa konveksi pakaian dalam partai besar.
CHETA NILAWATY
0 Response to "Mencicip Sate Lembut Hj Romlah di Kebon Kacang | Oleh Cheta Nilawaty"
Posting Komentar