Tak kurang dari lima belas tahun saya terlibat atau dipercaya menjadi juri pada pemilihan Abang – None Jakarta tingkat kotamadya, baik Jakarta Utara, Timur, Selatan, Barat, maupun Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pada ajang itu, salah satu pertanyaan favorit yang saya tanyakan kepada peserta Abnon adalah dua tokoh Betawi, yaitu Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki. Aneh bin ajaib, jawaban peserta kontes pemilihan Abnon Jakarta, yang notabene adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jabodetabek, khususnya jawaban tentang Thamrin, sama sekali ngaco-belo alias asal gobleg atau sangat jauh dari tepat.
Jika boleh saya gambarkan suasana tanya-jawab penjurian Abnon itu sebagai berikut:
“Pernah None/Abang meliwati Jalan Thamrin?”
“O… sering, sangat sering,” jawabnya.
“Siapa sih Thamrin, sehingga namanya jadi nama jalan?” Tanya saya lagi.
Diam sejenak. Lalu ragu-ragu menjawab. “Kalo tidak salah, ya Pak, beliau itu pahlawan masa revolusi kali ya…”
Buat saya jawaban itu sungguh ‘luar biasa’ dan menandakan ketidaktahuannya. Bayangkan saja, seorang peserta pemilihan Abnon Jakarta, tidak mengetahui tokoh Betawi yang namanya dijadikan nama jalan di tengah kota. Padahal, seorang Abang atau None Jakarta nantinya akan difungsikan sebagai ‘corong’ pariwisata Jakarta. Jika seorang peserta pemilihan Abnon Jakarta saja seperti itu, bagaimanakah ribuan pemuda-pemudi Jakarta yang tak mengenal Thamrin. Sungguh sebuah ironi.
Bagi saya, Thamrin adalah sosok yang ide dan pemikirannya mendahului zamannya sendiri. Meskipun tatakota dan tingkat kepadatan penduduk tak seperti sekarang, namun Thamrin telah membaca indikasi bahwa kota dan rakyat yang dibela dan dicintainya, suatu saat pasti akan mengalami kerunyaman akibat pembangunan dan urbanisasi yang tak terkendali. Problema sebuah kota dengan tingkat kepadatan di luar batas normal, akan memunculkan problem sosial. Tatkala Thamrin leluasa ‘berkoar’ di podium Volksraad, maka ide dan pemikirannya meluncur tak terbendung. Mulailah ia menuntut perbaikan kampung, penerangan jalan raya, penyediaan air bersih, bahkan kondisi ketidakadilan di daerah perkebunan di luar Batavia dan lain sebagainya tak luput dari sorotan protesnya.
Telah banyak buku yang ditulis oleh berbagai kalangan tentang sepakterjang Thamrin. Bahkan tak luput pula ada yang menuliskannya dalam bentuk naskah sandiwara. Itu menggambarkan betapa sangat berarti dan pentingnya Thamrin bagi masyarakat. Kematiannya pada usia muda, saat energi perjuangannya menggelegak, dapat ditamsilkan bagai gugurnya ribuan pejuang di medan pertempuran. Thamrin pada saat kematiannya sudah sejajar kedudukannya dengan Bung Karno. Jika saja Thamrin bertahan hidup dan beriringan dengan Bung Karno, niscaya alur dan warna perjuangan berwahana beda. Mungkin yang menduduki tampuk pimpinan nasional adalah Thamrin. Namun itu ‘jika’ dan ‘jika’ tak dapat dipertanggungjawabkan dalam historiografi.
Masyarakat Betawi, yang sejak ‘semula jadi’ tak akrab dengan sisik-melik kraton, menjadikan Thamrin tonggak pijakan dan inspirasi. Thamrin dijadikan pimpinan formal sekaligus nonformal setelah sekian ratus tahun masyarakat Betawi hanya mengenal pimpinan informal. Masyarakat Betawi bersikap apatis memandang pimpinan formal yang tak lain adalah penjajah.
Maka masyarakat Betawi yang umumnya muslim, memberi gelar kepada tokoh informal dengan peringkat sebagai berikut: Ustadz adalah pengajar agama pemula yang mengajar perukunan, istinja, Qur’an kecil, shalawat, doa-doa pendek. Mualim adalah orang yang cukup pengetahuan agamanya, dapat mengajar kitab, namun belum mempunyai hak berfatwa, biasanya memberi khutbah Jum’at. Guru, lengkapnya Tuan Guru atau Wa Guru, adalah orang yang luas ilmu agamanya, menguasai sesuatu bidang ilmu agama secara mendalam, misalnya tafsir atau falak, ahli mengajar kitab, kadang-kadang memberi khutbah Jum’at, dan boleh mengeluarkan fatwa. Guru sama dengan titel kyai pada masa sekarang. Tapi gelar kyai sampai dengan tahun 1945-an tak dikenal dalam komunitas Islam Betawi. Dan Dato, berasal dari bahasa Melayu Polinesia, adalah seorang yang mempunyai fadhilah dan tentu saja sangat luas ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya.
Ketika Thamrin muncul sebagai tokoh, maka ia berperan sebagai pimpinan formal dan informal. Dialah yang dapat menyatukan potensi masyarakat Betawi, sehingga masyarakat Betawi sangat dihotmati pada masanya. Itulah sebabnya kenapa Perkumpulan Kaum Betawi dapat masuk di lingkaran elit pergerakan nasional. Bob Hering, penulis buku Mohammad Hoesni Thamrin, Tokoh Betawi – Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan, berujar “… Dua puncak cemerlang dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yaitu Thamrin dan Bung Karno. Thamrin dan Bung Karno adalah satu kesatuan dan kesinambungan perjuangan yang mengantar rakyat Indonesia ke kemerdekaan”.
Prestasi monumental dipatrikannya di Volkraad, antara lain membentuk Fraksi Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan itu. Juga mendorong mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische. Saking kesel pada penjajah Belanda, pada jaarig Ratu Wilhelmina, beliah nggak mengibarkan bendera kebangsaan Belanda.
Ketika pemerintah yang diwakili oleh Bung Karno menetapkan M. H. Thamrin sebagai Pahlawan Nasional, masyarakat Betawi menganggapnya sebagai hal yang sangat wajar dan memang pada tempatnya. Derap langkah Thamrin di era pergerakan nasional menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah
Jika boleh saya gambarkan suasana tanya-jawab penjurian Abnon itu sebagai berikut:
“Pernah None/Abang meliwati Jalan Thamrin?”
“O… sering, sangat sering,” jawabnya.
“Siapa sih Thamrin, sehingga namanya jadi nama jalan?” Tanya saya lagi.
Diam sejenak. Lalu ragu-ragu menjawab. “Kalo tidak salah, ya Pak, beliau itu pahlawan masa revolusi kali ya…”
Buat saya jawaban itu sungguh ‘luar biasa’ dan menandakan ketidaktahuannya. Bayangkan saja, seorang peserta pemilihan Abnon Jakarta, tidak mengetahui tokoh Betawi yang namanya dijadikan nama jalan di tengah kota. Padahal, seorang Abang atau None Jakarta nantinya akan difungsikan sebagai ‘corong’ pariwisata Jakarta. Jika seorang peserta pemilihan Abnon Jakarta saja seperti itu, bagaimanakah ribuan pemuda-pemudi Jakarta yang tak mengenal Thamrin. Sungguh sebuah ironi.
Bagi saya, Thamrin adalah sosok yang ide dan pemikirannya mendahului zamannya sendiri. Meskipun tatakota dan tingkat kepadatan penduduk tak seperti sekarang, namun Thamrin telah membaca indikasi bahwa kota dan rakyat yang dibela dan dicintainya, suatu saat pasti akan mengalami kerunyaman akibat pembangunan dan urbanisasi yang tak terkendali. Problema sebuah kota dengan tingkat kepadatan di luar batas normal, akan memunculkan problem sosial. Tatkala Thamrin leluasa ‘berkoar’ di podium Volksraad, maka ide dan pemikirannya meluncur tak terbendung. Mulailah ia menuntut perbaikan kampung, penerangan jalan raya, penyediaan air bersih, bahkan kondisi ketidakadilan di daerah perkebunan di luar Batavia dan lain sebagainya tak luput dari sorotan protesnya.
Telah banyak buku yang ditulis oleh berbagai kalangan tentang sepakterjang Thamrin. Bahkan tak luput pula ada yang menuliskannya dalam bentuk naskah sandiwara. Itu menggambarkan betapa sangat berarti dan pentingnya Thamrin bagi masyarakat. Kematiannya pada usia muda, saat energi perjuangannya menggelegak, dapat ditamsilkan bagai gugurnya ribuan pejuang di medan pertempuran. Thamrin pada saat kematiannya sudah sejajar kedudukannya dengan Bung Karno. Jika saja Thamrin bertahan hidup dan beriringan dengan Bung Karno, niscaya alur dan warna perjuangan berwahana beda. Mungkin yang menduduki tampuk pimpinan nasional adalah Thamrin. Namun itu ‘jika’ dan ‘jika’ tak dapat dipertanggungjawabkan dalam historiografi.
Masyarakat Betawi, yang sejak ‘semula jadi’ tak akrab dengan sisik-melik kraton, menjadikan Thamrin tonggak pijakan dan inspirasi. Thamrin dijadikan pimpinan formal sekaligus nonformal setelah sekian ratus tahun masyarakat Betawi hanya mengenal pimpinan informal. Masyarakat Betawi bersikap apatis memandang pimpinan formal yang tak lain adalah penjajah.
Maka masyarakat Betawi yang umumnya muslim, memberi gelar kepada tokoh informal dengan peringkat sebagai berikut: Ustadz adalah pengajar agama pemula yang mengajar perukunan, istinja, Qur’an kecil, shalawat, doa-doa pendek. Mualim adalah orang yang cukup pengetahuan agamanya, dapat mengajar kitab, namun belum mempunyai hak berfatwa, biasanya memberi khutbah Jum’at. Guru, lengkapnya Tuan Guru atau Wa Guru, adalah orang yang luas ilmu agamanya, menguasai sesuatu bidang ilmu agama secara mendalam, misalnya tafsir atau falak, ahli mengajar kitab, kadang-kadang memberi khutbah Jum’at, dan boleh mengeluarkan fatwa. Guru sama dengan titel kyai pada masa sekarang. Tapi gelar kyai sampai dengan tahun 1945-an tak dikenal dalam komunitas Islam Betawi. Dan Dato, berasal dari bahasa Melayu Polinesia, adalah seorang yang mempunyai fadhilah dan tentu saja sangat luas ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya.
Ketika Thamrin muncul sebagai tokoh, maka ia berperan sebagai pimpinan formal dan informal. Dialah yang dapat menyatukan potensi masyarakat Betawi, sehingga masyarakat Betawi sangat dihotmati pada masanya. Itulah sebabnya kenapa Perkumpulan Kaum Betawi dapat masuk di lingkaran elit pergerakan nasional. Bob Hering, penulis buku Mohammad Hoesni Thamrin, Tokoh Betawi – Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan, berujar “… Dua puncak cemerlang dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yaitu Thamrin dan Bung Karno. Thamrin dan Bung Karno adalah satu kesatuan dan kesinambungan perjuangan yang mengantar rakyat Indonesia ke kemerdekaan”.
Prestasi monumental dipatrikannya di Volkraad, antara lain membentuk Fraksi Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan itu. Juga mendorong mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische. Saking kesel pada penjajah Belanda, pada jaarig Ratu Wilhelmina, beliah nggak mengibarkan bendera kebangsaan Belanda.
Ketika pemerintah yang diwakili oleh Bung Karno menetapkan M. H. Thamrin sebagai Pahlawan Nasional, masyarakat Betawi menganggapnya sebagai hal yang sangat wajar dan memang pada tempatnya. Derap langkah Thamrin di era pergerakan nasional menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah
Oleh Yahya Andi Saputra
0 Response to "Mohammad Hoesni Thamrin Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan - Kepemimpinan Betawi | Oleh Yahya Andi Saputra"
Posting Komentar