Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, kini tertata rapi. Lapangan kedua terbesar di Jakarta setelah Monas itu kini menjadi tempat Pameran Flora dan Fauna. Tidak lagi sesemrawut ketika pada tahun 1970-an oleh Gubernur DKI Ali Sadikin dijadikan sebagai terminal bus. Lapangan Banteng dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels seperti juga Lapangan Gambir (kini Monas) pada awal abad ke-19.
Terminal bus Lapangan Banteng ketika itu melayani berbagai trayek hampir ke segenap penjuru Ibukota. Trayek paling terkenal dulu adalah Banteng-Grogol. Sedangkan trayek ke arah selatan yang banyak penumpangnya adalah Banteng-Cililitan. Sekarang ini sebagian besar bekas terminal Cililitan sudah menjadi pertokoan.
Grogol yang kala itu terletak di paling ujung barat Jakarta baru dikembangkan. Berbagai perumahan, termasuk untuk anggota DPR, dibangun. Sayangnya, pada 1980-an, ketika terjadi banjir besar, hampir seluruh kawasan di Grogol terendam air. Pada abad ke-18, tentara Islam Banten sering mengusik Belanda dari Grogol yang masih hutan belukar.
Dulu, bagi warga Jakarta, Grogol menjadi semacan ejekan untuk menyebutkan orang yang berperilaku aneh atau sinting. ”Orang ini perlu dibawa ke Grogol,” kata orang. Maksudnya, ke rumah sakit jiwa yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di Grogol.
Pada 1970-an, sopir ugal-ugalan belum sebanyak sekarang. Bang Ali pernah mengejar-ngejar mereka. Kala itu belum banyak ‘sopir tembak’. Saat si sopir yang bertanggung jawab ingin istirahat, tiduran, main gaple atau main ‘judi nomor mobil’, maka kenek atau teman lain yang membawa bus. Istilahnya nyerep.
Sampai kini, kebiasaan nyerep masih berlangsung secara leluasa. Bukan lagi di bus kota, juga bus antar daerah, sampai taksi dan mikrolet. Tidak heran kalau kecelakaan lalulintas makin parah saja. Soal SIM pun bisa diatur, termasuk bila tertangkap aparat kepolisian, ada yang membereskannya. Saat itu angkutan kota dilayani oleh bus Robur buatan Bulgaria.
Sejak tahun 1957, pemerintah mendirikan Perusahaaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Berdirinya PPD sebagai konsekwensi dari pengambil-alihan perusahaan angkutan milik Belanda: BVM (Batavia Verkeer Matchapij). BVM kala itu bukan hanya melayani bus kota, tapi juga trem listrik. Seperti juga bus, trem listrik ketika ditangani PPD juga mengalami kerugian. Pada tahun 1960 (masa walikota Sudiro) angkutan massal ini dihapus.
Kini, ribuan awak PPD dikabarkan tengah ‘sekarat’ karena selama tujuh bulan (sejak Januari) tidak menerima gaji. Dikabarkan banyak pegawai PPD yang mengalami depresi — sesuatu yang tidak terjadi ketika perusahaan angkutan ini ditangani Belanda.
Ketika menjadi terminal bus kota, Lapangan Banteng hidup selama 24 jam. Di lapangan yang berhadapan dengan Hotel Borobudur itu berjejer rumah makan yang juga buka selama 24 jam. Daerah dekat patung Irian Barat, merupakan tempat penjualan buku-buku dan majalah. Beragam komik dijual di sini.
Kala itu, bila kita ke lapangan Banteng, harus ekstra hati-hati untuk menjaga kantung dan barang berharga. Karena, di Lapangan Banteng beroperasi pencopet-pencopet yang paling ulung di Jakarta. Namun, mereka tidak seganas sekarang, kriminalitas di Ibukota sangat menyeramkan. Para komplotan penjahat, ketika melakukan perampokan, misalnya, tidak segan-segan membunuh korbannya. Termasuk di siang bolong.
Lapangan Banteng yang sebelum penyerahan kedaulatan bernama Lapangan Singa (ada patung singa di atas sebuah tugunya), oleh Belanda dinamakan Waterloo Plein untuk mengejek kekalahan Kaisar Napoleon di Waterloo, Belgia (1815). Pada Pemilu 1955, Lapangan Banteng digunakan untuk kampanye multi parpol. Demikian juga pada Kampanye 1971. Pada 18 Maret 1982, ketika Golkar berkampanye di Lapangan Banteng, terjadi kerusuhan. Panggung dan peralatan musik yang sangat mahal dibakar massa, hingga terjadi kepanikan yang luar biasa.
Saat itu, selama beberapa hari para pegawai negeri tidak berani memakai baju dan atribut Korpri di jalan-jalan. Mereka takut menghadapi gangguan massa. Konon, kerusuhan itu dipicu oleh massa PPP, yang ketika itu menjadi pesaing utama Golkar. Sementara, Golkar yang menjadi partai pemerintah mendapatkan fasilitas yang sangat berlebihan. Tapi, banyak yang mengatakan bahwa peristiwa itu diotaki oleh petinggi Golkar sendiri untuk mendiskreditkan pesaing utamanya itu.
Gubernur Jenderal Daendels juga membangun sebuah ‘gedung putih’ di Lapangan Banteng, yang kini menjadi Departemen Keuangan. Pada 1876, untuk memperingati 200 tahun berdirinya kota Batavia, dibangun patung JP Coen, pendiri kota tersebut. Patung itu dihancurkan pada masa pemerintahan Jepang (1942).
Dulu, di sayap sebelah kiri gedung yang gagal dijadikan istana gubernur jenderal itu, terdapat gedung Club Concordia tempat hiburan para perwira militer yang berpangkat letnan ke atas. Pada malam minggu, para perwira dengan istri atau pasangan mereka berdansa di lantai pualam, diiringi musik hasil karya komposer terkenal, seperti Strauss, Offenbach, Verdi, dan Donizetti. Sementara, para wanita mengenakan pakaian yang mereka impor dari Paris dan London. Setelah penyerahan kedaulatan, gedung ini dijadikan sebagai gedung DPR di era demokrasi liberal.
Terminal bus Lapangan Banteng ketika itu melayani berbagai trayek hampir ke segenap penjuru Ibukota. Trayek paling terkenal dulu adalah Banteng-Grogol. Sedangkan trayek ke arah selatan yang banyak penumpangnya adalah Banteng-Cililitan. Sekarang ini sebagian besar bekas terminal Cililitan sudah menjadi pertokoan.
Grogol yang kala itu terletak di paling ujung barat Jakarta baru dikembangkan. Berbagai perumahan, termasuk untuk anggota DPR, dibangun. Sayangnya, pada 1980-an, ketika terjadi banjir besar, hampir seluruh kawasan di Grogol terendam air. Pada abad ke-18, tentara Islam Banten sering mengusik Belanda dari Grogol yang masih hutan belukar.
Dulu, bagi warga Jakarta, Grogol menjadi semacan ejekan untuk menyebutkan orang yang berperilaku aneh atau sinting. ”Orang ini perlu dibawa ke Grogol,” kata orang. Maksudnya, ke rumah sakit jiwa yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di Grogol.
Pada 1970-an, sopir ugal-ugalan belum sebanyak sekarang. Bang Ali pernah mengejar-ngejar mereka. Kala itu belum banyak ‘sopir tembak’. Saat si sopir yang bertanggung jawab ingin istirahat, tiduran, main gaple atau main ‘judi nomor mobil’, maka kenek atau teman lain yang membawa bus. Istilahnya nyerep.
Sampai kini, kebiasaan nyerep masih berlangsung secara leluasa. Bukan lagi di bus kota, juga bus antar daerah, sampai taksi dan mikrolet. Tidak heran kalau kecelakaan lalulintas makin parah saja. Soal SIM pun bisa diatur, termasuk bila tertangkap aparat kepolisian, ada yang membereskannya. Saat itu angkutan kota dilayani oleh bus Robur buatan Bulgaria.
Sejak tahun 1957, pemerintah mendirikan Perusahaaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Berdirinya PPD sebagai konsekwensi dari pengambil-alihan perusahaan angkutan milik Belanda: BVM (Batavia Verkeer Matchapij). BVM kala itu bukan hanya melayani bus kota, tapi juga trem listrik. Seperti juga bus, trem listrik ketika ditangani PPD juga mengalami kerugian. Pada tahun 1960 (masa walikota Sudiro) angkutan massal ini dihapus.
Kini, ribuan awak PPD dikabarkan tengah ‘sekarat’ karena selama tujuh bulan (sejak Januari) tidak menerima gaji. Dikabarkan banyak pegawai PPD yang mengalami depresi — sesuatu yang tidak terjadi ketika perusahaan angkutan ini ditangani Belanda.
Ketika menjadi terminal bus kota, Lapangan Banteng hidup selama 24 jam. Di lapangan yang berhadapan dengan Hotel Borobudur itu berjejer rumah makan yang juga buka selama 24 jam. Daerah dekat patung Irian Barat, merupakan tempat penjualan buku-buku dan majalah. Beragam komik dijual di sini.
Kala itu, bila kita ke lapangan Banteng, harus ekstra hati-hati untuk menjaga kantung dan barang berharga. Karena, di Lapangan Banteng beroperasi pencopet-pencopet yang paling ulung di Jakarta. Namun, mereka tidak seganas sekarang, kriminalitas di Ibukota sangat menyeramkan. Para komplotan penjahat, ketika melakukan perampokan, misalnya, tidak segan-segan membunuh korbannya. Termasuk di siang bolong.
Lapangan Banteng yang sebelum penyerahan kedaulatan bernama Lapangan Singa (ada patung singa di atas sebuah tugunya), oleh Belanda dinamakan Waterloo Plein untuk mengejek kekalahan Kaisar Napoleon di Waterloo, Belgia (1815). Pada Pemilu 1955, Lapangan Banteng digunakan untuk kampanye multi parpol. Demikian juga pada Kampanye 1971. Pada 18 Maret 1982, ketika Golkar berkampanye di Lapangan Banteng, terjadi kerusuhan. Panggung dan peralatan musik yang sangat mahal dibakar massa, hingga terjadi kepanikan yang luar biasa.
Saat itu, selama beberapa hari para pegawai negeri tidak berani memakai baju dan atribut Korpri di jalan-jalan. Mereka takut menghadapi gangguan massa. Konon, kerusuhan itu dipicu oleh massa PPP, yang ketika itu menjadi pesaing utama Golkar. Sementara, Golkar yang menjadi partai pemerintah mendapatkan fasilitas yang sangat berlebihan. Tapi, banyak yang mengatakan bahwa peristiwa itu diotaki oleh petinggi Golkar sendiri untuk mendiskreditkan pesaing utamanya itu.
Gubernur Jenderal Daendels juga membangun sebuah ‘gedung putih’ di Lapangan Banteng, yang kini menjadi Departemen Keuangan. Pada 1876, untuk memperingati 200 tahun berdirinya kota Batavia, dibangun patung JP Coen, pendiri kota tersebut. Patung itu dihancurkan pada masa pemerintahan Jepang (1942).
Dulu, di sayap sebelah kiri gedung yang gagal dijadikan istana gubernur jenderal itu, terdapat gedung Club Concordia tempat hiburan para perwira militer yang berpangkat letnan ke atas. Pada malam minggu, para perwira dengan istri atau pasangan mereka berdansa di lantai pualam, diiringi musik hasil karya komposer terkenal, seperti Strauss, Offenbach, Verdi, dan Donizetti. Sementara, para wanita mengenakan pakaian yang mereka impor dari Paris dan London. Setelah penyerahan kedaulatan, gedung ini dijadikan sebagai gedung DPR di era demokrasi liberal.
Oleh Alwi Shahab
0 Response to "[Nostalgia] Banteng - Grogol | Oleh Alwi Shahab"
Posting Komentar