Perubahan yang terjadi di Jakarta dalam 50 tahun terakhir sangat besar, baik dari segi fisik maupun system nilai. Namun perubahan dalam system nilai cenderung pada kemunduran. Demikian dikemukakan budayawan dan sejarahwan Ridwan Saidi, dalam bukunya “Kepemimpinan Politik Betawi di Jakarta 1942 – 1957 & Akar Kebudayaannya “
Mengapa 1942 – 1957? Menurut Ridwan karena pada periode tersebut terjadi empat kali perubahan politik di tanah air, dan wilayah yang menjadi fokusnya adalah Jakarta. Perubahan-perubahan itu:
Mengapa 1942 – 1957? Menurut Ridwan karena pada periode tersebut terjadi empat kali perubahan politik di tanah air, dan wilayah yang menjadi fokusnya adalah Jakarta. Perubahan-perubahan itu:
- Pada 5 Maret 1942 Belanda menyerah di Jakarta, Jepang berkuasa.
- Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan RI diproklamirkan.
- Tanggal 30 November 1945 marinir Belanda mendarat di pelabuhan Tanjung Priok.
- Tanggal 30 Maret 1950 Wali Kota Gubernemen Federal Mr. Sastro Mulyono menyerahkan kekuasaan pemerintahan daerah kota Jakarta kepada Wali Kota Jakarta Suwiryo yang kemudian dikukuhkan pada tanggal 31 Maret 1950 oleh Gubernemen Federal.
Ada dua hal yang secara mendasar disoroti Ridwan Saidi dalam buku setebal 94 halaman ini, yakni tentang sikap politik dan wawasan akar budaya para politisi Betawi. Terkait apa yang terjadi pada periode 1942-1057, dalam satu sub judul khusus Ridwan Saidi kembali menyuarakan ketidak sepakatannya tentang hari jadi kota Jakarta.
Periode Jayakarta berlangsung dari tanggal 22 Juni 1527, hingga dihancurkan nya kekuasaan yang berdomisili di tepi Kali Besar ini pada tanggal 30 Mei 1916. Selama 92 tahun itu dalam perspektif orang-orang Betawi sebagai mukimin awal, kekuasaan Jayakarta adalah penjajah. Tanggal 22 Juni 1527 yang terjadi adalah penghancuran kota Jakarta, bukan awal didirikannya kota Jakarta.
Adalah salah menempatkan Fatahillah dengan kraton Demak dan Cirebon sebagai pahlawan. Fatahillah hanya membangun istana bambu yang dikelilingi tembok lumpur di tepi Kali Besar, yang lokasinya sekarang menjadi tempat berdirinya hotel Omni Batavia.
Jakarta bebas murni dari segala macam bentuk kekuasaan asing pada tanggal 31 Maret 1950. Justru hari inilah yang seharusnya patut dirayakan sebagai hari kemenangan perjuangan rakyat dan pemimpin Indonesia. Atau, dapat juga HUT kota Jakarta ditetapkan mulai tanggal 29 September 1945. Pada saat itu Presiden Soekarno menandatangani surat keputusan tentang pembentukan Pemerintah Daerah Jakarta, dan menetapkan Suwiryo sebagai Wali Kotanya.
Memang, baik tanggal 31 Maret 1950 maupun tanggal 29 September 1945 tidak dapat dikatakan sebagai hari berdirinya secara fisik kota Jakarta.Tetapi berdasar landasan administrative, kota Jakarta bisa dilekatkan tanggal kelahirannya dengan tanggal-tanggal tersebut. Bahkan tanggal 22 Juni 1527 pun terlalu muda untuk dijadikan sebagai hari lahir kota Jakarta, karena kota ini sudah berdiri setidaknya pada tahun 130 M, jika dikaitkan dengan keberadaan suku bangsa Betawi yang telah ada jauh sebelum penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Tetapi pada tanggal 31 Maret dan 29 September ada peristiwa yang lebih patut dirayakan. Terutama tanggal 31 September 1950 sebagai hari kembalinya Jakarta sebagai kota nasional yang merdeka dan berjaya.
Mengupas soal akar kebudayaan, Ridwan mengutip sumber-sumber otentik perjanjian Portugis–Pajajaran 1521, Dagh Register 1 Juli 1641, naskah Sunda Wangsakerta 1667 dan Hikayat Marseketek Abdullah al-Mishri 1880-an. Dari sumber-sumber itu dapat diketahui bahwa orang-orang Betawi sudah terlibat dalam kepemimpinan politik setidaknya sejak tahun 130 M.
Aki Tirem menjadi tokoh pendiri krajan Salakanagara tahun 130 M, Wa (Item) Xabandar Kalapa dan Mundari Pateh Pajajaran (masa aktif 1512-1527), Ki Agas Kintal raja Krajan Judea Karti (Batujaya, masa aktif tahun 1641), Bapa Slamet menjadi Pateh pada Daendels Administration (1808-1811). Mereka adalah putra-putra Betawi yang terlibat dalam jalur kepemimpinan politik. Di antaranya ada yang berada di top level, ada yang berada pada posisi key person.
Dalam komunikasi politik akan dirasakan betapa perlunya memperluas pengetahuan tentang negeri sendiri, dan negara-negara mana saja yang ribuan tahun lalu mempengaruhi Nusantara. Kini terasa komunikasi politik tidak seberapa mutunya dibanding era 1950-an. Salah satu sebabnya karena para pelaku politik tidak merasa perlu meluaskan pengetahuannya di era money politic seperti sekarang. Sudah menjadi tabiat dasar orang Betawi untuk tidak menonjolkan diri. Begitu banyak resi di zaman pra Islam, tapi hanya sedikit saja yang dapat diketahui namanya, yaitu Resi Buyut Nyai Dawit Cibinong, Resi Gerowak Condet, dan Resi Ki Balung Tunggal Condet. Perkataan resi itu sendiri berasal dari Ibrani , yakni rashi, yang berarti pemimpin.
Di dalam jalur politik kepemimpinan cenderung di tangan laki-laki, tapi dalam urusan ritual kepemimpinan bisa saja dikendalikan perempuan. Resi atau Olot dalam ritual berfungsi memberi pituah di blandongan, tempat menerima tamu. Agama ataupun system kepercayaan monotheisme telah membangun idealisme citra kemasyarakatan. Kesederhanaan bukan berarti sama sekali meninggalkan kehidupan duniawi. Karena itu seorang resi tidak boleh menganggur. Resi tidak boleh hidup dari amplop hulun atau pengikut.
Sebenarnya bukan hanya resi yang tidak boleh dan tidak mau hidup dari amplop. Sastrawan Betawi seperti Muhammad Bakir juga hidup dengan menyewakan buku yang ia tulis dengan tangan sendiri dan dia sewakan sendiri.
Persoalan sekarang, sikap humble tidak selalu membantu dalam persaingan kepemimpinan. Dalam persaingan politik,sekali waktu tabiat rendah hati memang bisa dilupakan sementara. Namun demikian kepemimpinan politik yang harus tampil prima hendaknya tetap dalam batas sikap yang wajar. Pada satu bagian maka Ridwan Saidi pun menekankan optimismenya tentang perilaku kepemimpinan yang menurutnya sekarang sudah sangat kacau.
Selama lima belas tahun pada periode 1942-1957 penduduk Jakarta pernah mengalami masa pancaroba politik yang sangat fluktuatif, tapi adab tetap terpelihara. Ada masanya kita terpuruk sebagai bangsa, ada masanya juga kita akan bangkit kembali. Sebagai old timer menurut Ridwan tidaklah berlebihan bila ia merindukan mutiara yang hilang itu.
Dalam konteks politik, Betawi lebih dekat pada Partai Politik Masyumi. Ini disebabkan oleh kerja Mr. Moh.Roem & Prawoto Mangkusasmito yang kerap membela hak-hak petani Betawi di Depok sejak jaman Belanda dan terkenal dengan pembelaan hak-hak orang Betawi atas tanah di Kebayoran Baru.
Tokoh muda Masyumi lainnya seperti Anwar Haryono pada tahun 1945 berkeliling komunitas Betawi mengabarkan tentang Proklamasi Kemerdekaan. Pilihan politik orang Betawi dilakukan dengan sadar memilih Partai Politik Masyumi sebagai tempat aspirasi politiknya. Karena itu orang Betawi menolak PKI karena partai ini dianggap partai tidak berTuhan.
Sejak dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Kotapraja Jakarta Raya, terdapat 5 (lima) orang Betawi mewakili Partai Masyumi. Dalam Pemilihan Umum 1957 di DPRD Kotapraja Jakarta Raya, Masyumi menjadi pemenang dari 41 partai peserta Pemilu dengan 9 (Sembilan) orang anggota yang 5 (lima) diantaranya adalah orang Betawi (Nurdin Harun, Rahmatullah, Murtadho Ahmad, Ny. Barinah dan Hamidullah)
Buku ini juga mengulas tentang akar kebudayaan kepemimpinan politik Betawi yang menceritakan kesejarahan dan peradaban Betawi dimana juga menguak kaitan perjalanan peradaban melayu mulai dari Egypt serta bagian-bagian dari budayanya.
Penting tidaknya buku yang ditulis Ridwan Saidi sebagai pelengkap sejarah Betawi dan kepartaian dalam komunitas Betawi, akan lebih menarik untuk didiskusikan setelah membaca dengan lengkap.
Gaya tuturan yang menjadi ciri khas dalam buku-buku Ridwan Saidi seakan menafikan kaedah-kaedah penulisan ilmiah. Seperti diakui oleh penulisnya, tanpa mengurangi data yang diambil dari literatur dan pengalaman pribadi, buku ini tetap membuka pihak lain untuk koreksi dan membantahnya. Maka dari itu, untuk lebih jauh lagi, haruslah ada keberanian fihak-fihak yang ingin mendalami atau mengkoreksinya untuk membedah buku ini. Ridwan Saidi tentu sangat senang bila ada yang berkenan membedah buku ini.
Resensi Oleh :
- Cici A Ilyas – Penulis Cerpen Betawi
- Mathar Moehammad Kamal – Pegiat Forum Kajian Budaya Betawi
0 Response to "[Resensi Buku] Kepemimpinan Politik Betawi di Jakarta 1942 – 1957 & Akar Kebudayaannya"
Posting Komentar