Hati-hati Menghadapi Jepang
Kepulangan Noer Alie ke kampung halamannya, Ujungmalang, pada 1940 menjadi “duri dalam daging” bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan madrasah dan menikah dengan Siti Rohmah binti Mughni, Noer Alie menghimpun kekuatan umat, diantaranya membangun jalan tembus Ujungmalang Telukpucung pada 1941.
Kehadiran tentara pendudukan militer Jepang pada 1942 disambutnya dengan hati-hati, dan cenderung mendukung secara pasif dan waspada. Agar tidak terjebak dalam lingkaran politik yang merugikan diri dan umatnya, Noer Alie selalu menjalin kontak dengan tokoh-tokoh pemuda, guru dan rekan-rekannya di Jakarta sampai Banten, seperti Guru Abdul Hamid, Abdul Madjid, Hasbullah, dan KH Khotib.
Sebagai pemimpin Islam yang sudah masuk dalam daftar Shimubu (Kantor Urusan Agama), pada pertengahan April 1942 Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang untuk menghadap para pemimpin Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Mataram, Jatinegara.
Noer Alie terkejut, ternyata disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya selama di Makkah, kemudian menjadi Ketua Shimubu. Rupanya Muniamk dikirim ke Makkah dalam rangka menyebarkan propaganda demi kepentingan Jepang. Secara formal, atas nama pemerintah pendudukan, Muniam meminta kepada Noer Alie agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam aktivitas yang programkan Shimubu.
Noer Alie menyadari posisinya dalam kondisi serba salah. Dengan kemampuannya membaca suasana dan kemahirannya berdiplomasi, Noer Alie secara halus menolak ajakan Muniam, dengan alasan “Saya sedang memimpin pesantren yang beru didirikan. Kalau saya terjun bersama-sama ulama lain, bagaimana nanti nasib santri saya. Mereka akan tercerai-berai tak terurus.” Mendengar alasannya yang masuk akal, akhirnya Muniam mengijinkan Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren, dan “Tetap berdoa demi kejayaan Asia Raya.” Mendengar jaminan dari Muniam, Noer Alie merasa aman dalam menjalankan proses mengajar para santrinya. Meski demikian Noer Alie pun harus menjamin keamanan daerahnya, serta menjalankan perintah militer Jepang dan Seikeirei (membungkukkan badan).
Kepulangan Noer Alie ke kampung halamannya, Ujungmalang, pada 1940 menjadi “duri dalam daging” bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan madrasah dan menikah dengan Siti Rohmah binti Mughni, Noer Alie menghimpun kekuatan umat, diantaranya membangun jalan tembus Ujungmalang Telukpucung pada 1941.
Kehadiran tentara pendudukan militer Jepang pada 1942 disambutnya dengan hati-hati, dan cenderung mendukung secara pasif dan waspada. Agar tidak terjebak dalam lingkaran politik yang merugikan diri dan umatnya, Noer Alie selalu menjalin kontak dengan tokoh-tokoh pemuda, guru dan rekan-rekannya di Jakarta sampai Banten, seperti Guru Abdul Hamid, Abdul Madjid, Hasbullah, dan KH Khotib.
Sebagai pemimpin Islam yang sudah masuk dalam daftar Shimubu (Kantor Urusan Agama), pada pertengahan April 1942 Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang untuk menghadap para pemimpin Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Mataram, Jatinegara.
Noer Alie terkejut, ternyata disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya selama di Makkah, kemudian menjadi Ketua Shimubu. Rupanya Muniamk dikirim ke Makkah dalam rangka menyebarkan propaganda demi kepentingan Jepang. Secara formal, atas nama pemerintah pendudukan, Muniam meminta kepada Noer Alie agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam aktivitas yang programkan Shimubu.
Noer Alie menyadari posisinya dalam kondisi serba salah. Dengan kemampuannya membaca suasana dan kemahirannya berdiplomasi, Noer Alie secara halus menolak ajakan Muniam, dengan alasan “Saya sedang memimpin pesantren yang beru didirikan. Kalau saya terjun bersama-sama ulama lain, bagaimana nanti nasib santri saya. Mereka akan tercerai-berai tak terurus.” Mendengar alasannya yang masuk akal, akhirnya Muniam mengijinkan Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren, dan “Tetap berdoa demi kejayaan Asia Raya.” Mendengar jaminan dari Muniam, Noer Alie merasa aman dalam menjalankan proses mengajar para santrinya. Meski demikian Noer Alie pun harus menjamin keamanan daerahnya, serta menjalankan perintah militer Jepang dan Seikeirei (membungkukkan badan).
Bagi Noer Alie konsesi yang diwajibkan Jepang dapat dituruti, tetapi keyakinan Jepang tentang kedewaan kaisar bertabrakan langsung dengan iman Islam, karena serupa dengan ruku dalam shalat. Karenanya Noer Alie memerintahkan para badal dan santrinya untuk melakukan Seikeirei hanya pada saat datang tentara Jepang, sebagai taktik demi keselamatan perjuangan.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung. Noer Alie juga mempersilakan seorang santrinya, Marzuki Alam, mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA). (KH-NoerAlie.info)
0 Response to "Serial KH. Noer Alie - Pahlawan Nasional dari Tanah Betawi (Bagian IV) | Oleh Ali Anwar"
Posting Komentar