Hijrah ke Banten
Bukti betapa MPHS Jakarta Raya mampu membangkitkan moral pasukan dan rakyat, banyak kalangan pro Indonesia yang telah porakporanda sejak Agresi 1 Belanda menyatakan bergabung ke dalam MPHS, terutama dari unsur TNI, badan-badan perjuangan, polisi, jaksa, pemerintah sampai lurah-lurah. Meraka bahu-membahu melawan Belanda.
Saat Kabupaten Jatineragara dikosongkan Bupati Rubaya, yang berpihak kepada Negara Pasundan, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia Mohammad Moe’min, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara pada 10 Januari 1948.
Berbekal surat penetapan, KH Noer Alie lebih gencar melakukan aksi teritorial maupun pasukan. Malah untuk lebih meyakinkan bahwa mereka dapat menembus wilayah pendudukan yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan Belandadi Jakarta, MPHS yang bekerja sama dengan Kompi Lukas Kustaryo menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Klender, Kemayoran, Kaliabang, Bogor Penggarutan, Bojong, Marunda, dan Cilincing.
Namun jabatan pemerintah yang seharusnya dimulai 15 Januari, itu tidak berlangsung lama, karena terjadi Perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang mengharuskan Tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 pasukan dari Kompi Syukur.
Kompi-kompi yang lain diperintahkan tetap disekitar Karawang-Bekasi untuk membangkitkan semangat masyarakat. Sementara kepada Marzuki Hidayat, Komandan Pasukan XIX-- yang kemudian diubah namanya menjadi Pasukan XXI—diperintahkan tetap tinggal di sekitar Bekasi dengan tugas menyimpan senjata dan mengatur pasukan di setiap desa, memelihara moral rakyat agar jangan terkena propaganda Belanda, dan menganjurkan kepada urusan teritorial yang berada di kota supaya aktif ambil bagian pada gerakan plebisit (jajak pendapat).
Untuk mencapai Banten, pasukan KH Noer Alie yang berjalan kaki melalui selatan Bekasi dan Bogor harus melintasi wilayah kekuasaan Belanda. Setibanaya di Cipayung, pasukan KH Noer Alie disergap tentara Belanda.
Tanpa melakukan perlawanan, seluruh pasukan dilucuti. Sebanyak 40 pucuk senjata api, perbekalan, dan pakaian, disita Belanda. Waktu yang sempit itu dimanfaatkan KH Noer Alie untuk mengatur siasat. Dia berbisik kepada KH Mahmud dan Husein Abdullah. Siasatnya, bila ditanya identitas, KH Noer Alie berpura-pura sebagai tukang masak, KH Abdul Rahman sebagai KH Noer Alie, dan KH Mahmud sebagai pembawa air.
Siasat jitu itu berhasil mengelabui tentara Belanda. Selanjutnya mereka digiring ke markas Belanda. Seluruh pasukan yang menjadi tawanan berjejer dikawal ketat, dengan farmasi selang-seling antara pasukan KH Noer Alie dengan pasukan Belanda. KH Mahmud berada di depan pasukan, sementara KH Noer Alie di barisan ketiga setelah diselingi seorang Pasukan Belanda.
Selama dalam perjalanan, mereka berdoa dan berpikir agar dapat membebaskan diri. Begitu sampai di jalan yang berbukit, sempit, penuh belukar, curam, dana agak gelap, tiba-tiba KH Noer Alie melompat kedalam selokan. Selamat.
KH Noer Alie melanjutkan perjalanan ke markas TNI di Leuwiliang melalui Gunung Batu. Di sana dia disambut gembira oleh TNI yang sedang menuju front Bogor Barat. Komandan Kompi Rangkasbitung, Letnan Dua Mastamad, menjemput KH Noer Alie. Keesokan harinya KH Noer Alie berangkat ke Serang, dan diterima Komandan Batalyon IV Mayor Sholeh Iskandar, Residen Banten KH Khotib, Bupati Serang KH Sam’un, Panglima TNI Banten Kolonel dr. Ary Sudewo, san Komandon Batalyon Cadangan Brigade IV Tirtayasa Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala.
Bukti betapa MPHS Jakarta Raya mampu membangkitkan moral pasukan dan rakyat, banyak kalangan pro Indonesia yang telah porakporanda sejak Agresi 1 Belanda menyatakan bergabung ke dalam MPHS, terutama dari unsur TNI, badan-badan perjuangan, polisi, jaksa, pemerintah sampai lurah-lurah. Meraka bahu-membahu melawan Belanda.
Saat Kabupaten Jatineragara dikosongkan Bupati Rubaya, yang berpihak kepada Negara Pasundan, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia Mohammad Moe’min, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara pada 10 Januari 1948.
Berbekal surat penetapan, KH Noer Alie lebih gencar melakukan aksi teritorial maupun pasukan. Malah untuk lebih meyakinkan bahwa mereka dapat menembus wilayah pendudukan yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan Belandadi Jakarta, MPHS yang bekerja sama dengan Kompi Lukas Kustaryo menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Klender, Kemayoran, Kaliabang, Bogor Penggarutan, Bojong, Marunda, dan Cilincing.
Namun jabatan pemerintah yang seharusnya dimulai 15 Januari, itu tidak berlangsung lama, karena terjadi Perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang mengharuskan Tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 pasukan dari Kompi Syukur.
Kompi-kompi yang lain diperintahkan tetap disekitar Karawang-Bekasi untuk membangkitkan semangat masyarakat. Sementara kepada Marzuki Hidayat, Komandan Pasukan XIX-- yang kemudian diubah namanya menjadi Pasukan XXI—diperintahkan tetap tinggal di sekitar Bekasi dengan tugas menyimpan senjata dan mengatur pasukan di setiap desa, memelihara moral rakyat agar jangan terkena propaganda Belanda, dan menganjurkan kepada urusan teritorial yang berada di kota supaya aktif ambil bagian pada gerakan plebisit (jajak pendapat).
Untuk mencapai Banten, pasukan KH Noer Alie yang berjalan kaki melalui selatan Bekasi dan Bogor harus melintasi wilayah kekuasaan Belanda. Setibanaya di Cipayung, pasukan KH Noer Alie disergap tentara Belanda.
Tanpa melakukan perlawanan, seluruh pasukan dilucuti. Sebanyak 40 pucuk senjata api, perbekalan, dan pakaian, disita Belanda. Waktu yang sempit itu dimanfaatkan KH Noer Alie untuk mengatur siasat. Dia berbisik kepada KH Mahmud dan Husein Abdullah. Siasatnya, bila ditanya identitas, KH Noer Alie berpura-pura sebagai tukang masak, KH Abdul Rahman sebagai KH Noer Alie, dan KH Mahmud sebagai pembawa air.
Siasat jitu itu berhasil mengelabui tentara Belanda. Selanjutnya mereka digiring ke markas Belanda. Seluruh pasukan yang menjadi tawanan berjejer dikawal ketat, dengan farmasi selang-seling antara pasukan KH Noer Alie dengan pasukan Belanda. KH Mahmud berada di depan pasukan, sementara KH Noer Alie di barisan ketiga setelah diselingi seorang Pasukan Belanda.
Selama dalam perjalanan, mereka berdoa dan berpikir agar dapat membebaskan diri. Begitu sampai di jalan yang berbukit, sempit, penuh belukar, curam, dana agak gelap, tiba-tiba KH Noer Alie melompat kedalam selokan. Selamat.
KH Noer Alie melanjutkan perjalanan ke markas TNI di Leuwiliang melalui Gunung Batu. Di sana dia disambut gembira oleh TNI yang sedang menuju front Bogor Barat. Komandan Kompi Rangkasbitung, Letnan Dua Mastamad, menjemput KH Noer Alie. Keesokan harinya KH Noer Alie berangkat ke Serang, dan diterima Komandan Batalyon IV Mayor Sholeh Iskandar, Residen Banten KH Khotib, Bupati Serang KH Sam’un, Panglima TNI Banten Kolonel dr. Ary Sudewo, san Komandon Batalyon Cadangan Brigade IV Tirtayasa Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala.
0 Response to "Serial KH. Noer Alie - Pahlawan Nasional dari Tanah Betawi (Bagian IX) | Oleh Ali Anwar"
Posting Komentar